Jumat, 19 Juli 2013

SEJARAH DAN ASAL USUL KAWASAN KONSERVASI BUDAYA BETAWI CONDET (BAB I)


SEJARAH DAN ASAL USUL KAWASAN KONSERVASI BUDAYA BETAWI CONDET

Condet, merupakan  kawasan perkampungan tua masyarakat Betawi. Tepat ditengahnya mengalir Sungai Ciliwung membelah wilayah ini menjadi dua bagian, satu diwilayah Jakarta Selatan dan yang lainnya di Jakarta Timur. Wilayah Condet membentang dari  sebelah barat berbatasan dengan Jl Buncit Raya hingga Jalan Raya Bogor disebelah timur dan dari  Kecamatan Pasar Rebo disebelah selatan hingga Wilayah Celilitan disebelah utaranya.  Untuk menuju masuk ke wilayah Condet bagian Timur sangat mudah dari bagian untara bisa melalui PGC Cililitan melalui Jalan Raya Condet  dan bila dari arah selatan bisa melalui PP plaza Jalan Raya Simatupang masuk melalui Jalan Raya Condet juga. Dan Wilayah Condet Bagian Selatan dapat dengan mudah masuk dari arah mana saja, pokoknya Condet Pejaten ada di Kecamatan Pasar Minggu. 
Apa Condet itu ?  berdasar cerita yang beredar dimasyarakat,  Kata Condet berasal dari nama seseorang yang memiliki kesaktian dan memiliki bekas luka diwajahnya (Codet), orang sakti tersebut seringkali muncul  didaerah Batu Ampar, Balekambang dan Pejaten.  Ada lagi sebagian Orang mengatakan bahwa orang yang memiliki Kesaktian tersebut adalah Pangeran Geger atau  Ki Tua, WaLLAHU a’lam, yang pasti Condet adalah sebuah perkampungan Betawi yang didalamnya tengah berlangsung Pembangunan seperti daerah-daerah lainnya di Jakarta. 
Ada beberapa peninggalan purbakala yang usianya diperkirakan barasal dari periode 1500 – 1000 SM, yang berhasil ditemukan berupa Kapak, Gurdi dan Pahat dari batu. Ini menandakan bahwa sejak periode itu diwilayah Condet sudah ada perkampungan. Cukup beralasan, karena banyak jejak sejarah suatu peradaban manusia  dimulai dari daerah yang dekat sumber air (Sungai Ciliwung, red).
Sebagai salah satu perkampungan tua ditanah Jakarta.  Wilayah Condet  memiliki keunikan  tersendiri, berbeda dengan kota-kota Tua lainnya di Jakarta, di Condet sampai diakhir 1980an kita sulit menemukan bangunan-bangunan tempo Doeloe. Pernah ada di ujung selatan jalan raya Condet terdapat bagunan tua peninggalan Balanda masyarakat menyebutnya Gedung Tinggi atau Gedung Kidekle, tepatnya di Jl. Simatupang (Sekarang) posisinya persis menghadap ke utara jalan raya Condet, Cuma bagunan tersebut sudah tidak ada lagi musnah terbakar dan tidak ada lagi upaya untuk merenopasinya, padahal bangunan tersebut sangat tinggi nilai sejarah bagi terbentuknya perkampungan Condet dan kampungnya orang Jakarta ini.  Keunikan wilayah Condet yang masih dapat ditemukan adalah Perkebunan Salak, yang tidak ada didaerah lainnya di tanah Jakarta.  Meskipun pohon-pohon tersebut hanya tinggal beberapa gelintir saja. cukuplah untuk dijadikan bukti kejayaan sejarah salak Condet dimasa lalu,
Sejak kapan di Condet ada perkebunan Salak ?  merupaka fenomena sejarah, kultural yang belum terungkap hingga saat ini, apakah tanaman ini tumbuh secara alami,  atau sudah ada yang mengupayakan sejak dulu seiring ditemukan-nya benda-benda purbakala itu.  Karena kondisi alamnya cocok buat pertumbuhan Pohon Salak, maka tanaman ini dapat dengan mudah berkembang biak hingga pada akhirnya mampu menutupi  tiap jengkal tanah Condet dengan rerimbunannya. Karena ketidakjelasan ini, maka di daerah Condet berkembang cerita-cerita rakyat yang menghubung-hubungkan riwayat tanaman ini dengan tokohnya hingga menjadi  Asset Budaya local yang turun-menurun dan patut pula menjadi bahan kajian selanjutnya.
 Namun seiring semakin pudarnya identitas Condet sebagai Pusat perkebunan Salak, semakin pudar pula cerita-cerita tersebut di masyarakat. Saat ini sedikit sekali masyarakat yang mengetahui nama para tokoh sejarah yang pernah berjasa ditanah Condet, seperti Pangeran Geger, Ki Tua Pangeran Purbaya, Pangeran Astawana, Tong Gendut. Dll

CAGAR BUDAYA

Pada tahun 1964, oleh pemerintah didaerah Condet pernah akan dibangun komplek Militer Cakrabirawa dan rencana pembangunan Universitas Bungkarano, tetapi rencana ini ditentang oleh masyarakat Condet dengan alasan untuk melindungi lingkungan alam, budaya, adat istiadat   yang begitu melekat dikalangan masyarakat Condet kala itu. 
Secara kebetulan pada tahun 1965 direpublik ini terjadi pemberontakan G30S/PKI sehingga kedua rencana Pemerintah pada waktu itu tidak dapat direalisasikan.  Dari beberapa sumber, Kultur daerah Condet sangat berbeda dengan daerah-daerah lain dijakarta sehingga masyarakat sangat selektif menerima segala macam interpensi budaya dan adat istiadat meskipun dari Pemerintah kala itu, ada kepercayaan pada sebagian masyarakat, bila ada yang berani melanggar kultur budaya masyarakat Condet, maka orang itu akan terkena musibah.
Untuk melindungi kultur budaya masyarakat tersebut Pada akhirnya Pemerintah menetapkan  kawasan Condet yang terdiri dari kelurahan Belekambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah menjadi kawasan yang dilindungi (Cagar Budaya Buah-buahan) berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Letjen. TNI Marinir Ali Sadikin) tanggal 18 Desember 1975 Nomor D.I. 7903/a/30/1975 yang begitu fenomenal (Anonimuous, 1975). 
Untuk menjaga kelangsungan dan kehidupan perkampungan Condet serta sebagai pelaksanaan keputusan gubernur tentang cagar budaya buah-buahan, maka pada tanggal 20 Oktober 1976 Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta kembali menginstruksikan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) untuk menyusun rencana pola kebijaksanaan pemerintah DKI dan tata kerja proyek Cagar Budaya Condet dengan instruksi No.D.IV-99/d/11/76 (Anonimous, 1976).
Pada tahun yang sama Pemerintah kembali mengeluarkan instruksi nomor D.IV– 116/d/11/76 tentang pembatasan terhadap pengembangkan kawasan Condet (Anonimous, 1976).
Penetapan condet sebagai cagar budaya Buah-buahan menimbulkan daya tarik bagi kalangan menengah keatas untuk menanamkan investasi atau bermukim di condet, hal ini ditandai dengan bermuculannya rumah-rumah mewah di kawasan tersebut. Menurut data perubahan pungsi lahan dikawasan Condet selama periode itu sebesar 217.8 Ha atau dari 135.3 Ha (1976) menjadi 353.1 Ha (1986) dari data tersebut rata-rata pertahun di kawasan Condet terjadi perubahan fungsi lahan sebesar 3 9 Ha.
Untuk mengantisipasinya, maka pada tanggal 1 januari 1986 Gubernur kepala daerah khusus ibu kota Jakarta kembali mengeluarkan instruksi nomor 19 tahun 1986, sehubungan dengan itu, maka :
1.    Dilarang memberikan izin/legalisasi setiap mutasi (jual/beli) pemilikan tanah di kawasan Condet.
2.    Dilarang mengadakan perubahan tataguna tanah sesuai dengan peruntukan yang akan ditetapkan kemudian, termasuk menebang/ memusnahkan tanaman salak, duku dan melinjo.
3.    Dilarang memberikan izin dan atau membangun bangunan baru mulai dari pembangunan pondasi dan seterusnya di kawasan Condet.

Pernyataan ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 sampai selesainya penyusunan konsepsi pembangunan di wilayah Condet atau dikenal dengan istilah “status Kuo” yang sangat kontropersial terhadap Pembangunan di kawasan Condet.
\Kemudian pada tanggal 3 Agustus 1986 kembali pemerintah mengeluarkan instruksi pencabutan status quo pembangunan Condet dengan instruksi nomor 227 tahun 1986 yang pada intinya memberikan kelonggaran terhadap  Pembangunan di kawasan Condet, pada masa itu Gubernur KDKI adalah R. Suprapto (Anonomuos,1986)
Sejak saat itu, karena keterbatasan penulis, penelusuran terhadap dokumen berkenaan dengan kebijakan Pemerintah tentang arah tujuan pemberlakuan Cagar Budaya Condet terhambat.  Kemudian berita terakhir yang sempat beredar dimasyarakat Condet kira-kira pertengahan 2004, bahwa Cagar Budaya Condet dicabut dan dipindahkan ke Setu Babakan Jagakarsa Jakarta Selatan, saat itu sosialisasinya dilakukan di sana dan dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat Condet. 
Menurut hemat kami, dicabut atau tidaknya status Cagar Budaya Buah-buahan di Condet saat ini sama dengan pribahasa Habis manis sepah diBuang, setelah selama bertahun-tahun masyarakat Condet menghadapi ketidak jelasan arah kebijakan pembangunan dikawasan ini disaat segala asset Kultur Budaya, lingkungan alam Condet diambang kehancuran malah dicampakkan.  Hal ini berdampak buruk terhadap kredibilitas pemerintah dengan segala otoritas dan profesionalismenya.
Kemudian, bagi kami Tradisi masyarakat Condet yang begitu identik dengan perjalanan panjang sejarah terbentuknya Eko-Sistem yang meliputi seluruh komunitas yang ada adalah defacto, milik Kampung Condet dengan segala khasanah yang ada dan apa adanya, tidak dapat dipindahkan.  Apa lagi dengan isu-isu murahan yang menyesatkan, titik.
Alhamdulillah, pada tahun ini (2008) ada upaya konkrit oleh pemerintah, entah bagaimana proses didalamnya saat ini telah tersedia lahan kurang lebih 3 Ha dengan keanekaragaman hayatinya akan dijadikan situs untuk tanaman kebanggaan tanah Jakarta. Kami sangat berharap, dengan langkah ini akan menjadi titik terang kedepan dalam rangka perbaikan sejarah, kultur, budaya, lingkungan alam yang selama ini koyak dan ceraiberai oleh lemahnya daya dukung kebijakan, kepentingan sesaat,  dan ketidakpedulian yang telah begitu banyak menelan korban
Condet, yang saat ini berada dalam  proses pembangunan fisik wilayah, pertambahan penduduk, mengalirnya wisatawan dalam dan luar negeri, proses akulturasi global. Kebijakan-kebijakan Pemerintah yang diharapkan dapat melindungi asset Hayati dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat, namun pada kenyataanya justru menghantam dan merusak lingkungan alam, mencerai-beraikan pergaulan kehidupan masyarakat, menghanyutkan dan menenggelamkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang bertahun-tahun dipertahankan, hingga pada akhirnya melenyapkan identitas masyarakat tradisional Condet yang kental dengan predikat sebagai Cagar Budaya Buah-buahan.
(Abdul Kodir, dari berbagai sumber)

Sumber : http://komunitasciliwungcondet.blogspot.com/p/sejarah-condet.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar