Kamis, 10 November 2011

HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN


Perikatan ialah suatu hubungan (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak yang berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”.
MACAM-MACAM PERIKATAN
a. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada sutu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Suatu contoh misalnya suatu perjanjian : saya mengijinkan seorang mendiami rumah saya, dengan ketentuan bhwa perjanjian itu akan berakhir apabila secara mendadak saya diberhentikan dari pekerjaan saya.
b. Perikatan yang Digantungkan pada Suatu Ketetapan Waktu
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu adalah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana. Sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan dating, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih dalam waktu setelahnya dan sebagainya.
c. Perikatan yang Membolehkan Memilih
Perikatan yang membolehkan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
d. Perikatan Tanggung-menanggung
Suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang erhadapan dengan satu orang yang menghutangan, atau sebaliknya. Beberapa orang yang bersama-sama menghadapi satu orang berpiutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang berhutang.
e. Perikatan yang dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Hal ini bias any terjadi karena meninggalny satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
f. Perikatan dengan Penetapan Hukuman.
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek bnyak dipakai perjanjian di mana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian ini.
WANPRESTASI
Wanprestasi adalah apabila siberhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukanya. Ia adalah “alpa” atau”lalai” atau “bercedera jaji”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam:
1.           Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukanya.
2.           Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3.           Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat
4.           Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut:
1.           Pembayaran
2.           Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
3.           Pembaharuan hutang
4.           Perjumpaan hutang atau kompensasi
5.           Percampuran hutang
6.           Pembebasan hutang
7.           Musnahnya barang yang terhutang
8.           Kebatalan/pembatalan
9.           Berlakunya suatu syarat batal
10.           Lewatnya waktu
SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal
PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
–      Apabila Suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum
–      Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat-syarat subyektif, maka sebagaimana sedah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.
–      Tentang perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan masing-masing pihak.
–      Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan.
–      Kekhilafan atau kekeliruan, terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian.
–      Penipuan, apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal=akalan yang cerdik (tipu muslihat) untuk membujuk pihak lawan memberikan perizinannya.
PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Dilihat dari hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1.           Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang.
2.           Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
3.           Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Ada tiga norma-norma yng ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu Undang-undang, kebiasaan, dan kepatuhan.
Menurut Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan “dengan itikad baik”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar